Foto
Sabtu, 2 Juni 2012 - 16:37 WIB

Peyek 5,9 SR, Camilan Penuh Kenangan

Redaksi Solopos.com  /  Hery Trianto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

BANTUL—Gempa bumi yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Bantul, 27 Mei 2006 silam, masih terekam jelas di ingatan Triyono Raharjo, 40, warga Dusun Mandingan, Ringinharjo, Bantul.

Bagaimana tidak, kekuatan gempa saat itu yang mencapai 5,9 skala ritcher (SR) telah ia abadikan menjadi merek camilan tradisional buah karyanya, peyek 5,9 SR.

Advertisement

“Karena namanya unik, pernah ada wisatawan yang memborong hingga tiga dus besar untuk oleh-oleh di Jepang,” kata ayah satu anak itu kepada Harian Jogja, beberapa waktu lalu.

Selain karena nama 5,9 SR, Triyono menambahkan, camilan dari adonan tepung beras dan kacang itu terkesan unik karena ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan peyek pada umumnya.

Advertisement

Selain karena nama 5,9 SR, Triyono menambahkan, camilan dari adonan tepung beras dan kacang itu terkesan unik karena ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan peyek pada umumnya.

Bukan tanpa alasan mantan sopir katering itu membuat peyeknya dalam ukuran mini. “Kecil-kecil jadi mirip serpihan tembok bangunan yang runtuh akibat gempa. Ini yang membuat beda,” ujarnya.

Istri Triyono, Rusmiati, 35, menuturkan, gempa 2006 yang genap berusia 6 tahun itu menyisakan banyak kisah suka dan duka pada keluarganya.

Advertisement

“Sungguh suatu pengalaman yang tidak terlupakan ketika kami sekeluarga harus tinggal di barak pengungsian selama sekitar 3 bulan,” kenang Rusmi, sapaan akrabnya.

Dalam kondisi masih serba kalut, masih kata Rusmi, suaminya terpaksa menganggur karena katering tempatnya bekerja sepi order selama hampir dua minggu pasca gempa.

Demikian pula ibu Rusmi, Welas, yang terancam bangkrut karena usaha camilan tradisional yang telah dirintisnya selama belasan tahun ditinggalkan para pelanggannya yang juga jadi korban gempa.

Advertisement

Namun, keluarga kecil itu tetap berbesar hati dan yakin bahwa di balik musibah pasti terkandung hikmah. Bermodal nekat, Welas dan Triyono bahu membahu merintis usaha peyek.“Berbekal sisa tabungan, kami mengadu nasib dengan memproduksi peyek. Kami masaknya juga di barak pengungsian,” terang Rusmi.

Memanfaatkan jaringannya semasa bekerja di katering, Triyono memberanikan diri untuk menjajakan peyek yang saat itu belum diberi label 5,9 SR ke sejumlah hotel ternama di Jogja.

Selain karena renyah dan gurih, peyek itu juga mendapat tempat di hati para pelanggannya mengingat perjuangan keras Triyono sekeluarga bangkit dari keterpurukan pasca gempa.

Advertisement

Pesanan pun terus mengalir. Kewalahan karena harus memproduksi sekitar 800 kemasan tiap hari, Triyono pun merekrut lima karyawan yang tidak lain adalah tetangganya sesama korban gempa.

Seiring waktu berjalan, omzet peyek 5,9 SR menyusut. Kini, tinggal 300 kemasan yang diproduksi tiap harinya untuk memasok pedagang di pasar-pasar tradisional di Bantul dan sekitarnya.Karyawan pun berkurang, tinggal tiga orang. Sementara harga bahan baku semakin mahal, Triyono harus tetap menjaga pelanggan dengan tidak menaikkan harga.

“Tetap Rp3.000. Satu kemasan isinya 24 peyek,” jelasnya. Meski demikian, kata syukur tidak pernah lepas dari mulut Triyono. Sebab, penghasilan dari usaha peyek 5,9 SR itu telah menjelma sebuah rumah baru yang telah siap ditinggali bersama istri dan anaknya. (Dinda Leo Listy)

Advertisement
Kata Kunci : Bantul Camilan Peyek. Gempa
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif