Widodo, Kusir Ketera Kraton Yogyakarta (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

PromosiSelamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Tak sembarang orang bisa menjadi kusir kereta Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Widodo, 53, menjadi salah satu orang yang terpilih menjadi abdi dalem untuk merawat kuda dan kereta. Berikut kisah yang ditulis wartawan Harian Jogja, Andreas Tri Pamungkas.

Di suatu siang, Widodo berada di rumahnya yang berada di kompleks Museum Kereta Kraton di Jalan Rotowijayan, Kecamatan Kraton. Duduk di teras rumahnya menemui Harian Jogja, wajah Widodo terlihat gusar.

Ia menanti- nanti kepastian dari Kraton, kereta apa yang akhirnya dipilih Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk Pawiwahan Ageng putrinya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu 22 Oktober mendatang.

Yang terpenting lagi, jadi atau tidaknya, Kraton memberikan dawuh kepadanya untuk menjadi kusir kereta Sultan itu. “Ini memang baru pertama karena sebelumnya hanya menjadi kusir untuk pernikahan GKR Bendara [pada 2011]. Kalau gemeter nanti pasti iya,” ujarnya lirih sambil menyalakan rokok yang diambil dari saku celananya, akhir pekan lalu.

Untuk memperoleh kejelasan itu, Widodo pun sempat bolak balik menanyakan kepada pihak Kraton. Tapi nihil. Kabar itu akhirnya baru diperolehnya pada Kamis (24/8/2013). Kabar itu malah diperoleh langsung dari Sultan yang mendatangi museum bersama permaisurinya GKR Hemas.

Sultan memilih Kyai Wimono Putro, ketimbang kereta Kyai Harsunobo dan Jatayu. Kereta dengan ukuran empat kali dua meter itu menurutnya, didesain sederhana namun anggun.

Keterlibatannya dalam agenda perhetalan besar Kraton yang masih diingatnya sampai sekarang adalah ketika mengantarkan jenazah Sri Sultan Hamengku Buowono IX ke Makam Raja-raja Imogiri saat mangkat pada 1988. Waktu itu, kerumunan warga memadati sepanjang jalan menuju tempat peristirahatan terakhir di belahan bumi selatan DIY itu.

Hanya Widodo kala itu belum diberi tanggung jawab untuk menjadi kusir. Adalah Sang Ayah, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kudo Wijoyo yang menjadi kusir kereta Kyai Ratapralaya yang membawa jenazah HB IX. Widodo sendiri jalan kaki mengiring kereta jenazah tersebut.

“Tingkat kehati-hatian menjadi kusir kereta Kraton sekarang ini adalah warga yang melihat belum puas kalau belum dekat sekali dengan kereta,” tuturnya.

Dari pengalaman ayahnya itu, Widodo selalu memetik ilmu untuk dapat bersahabat dengan kuda. Sehebat apapun pengetahuan tentang kuda, menurutnya, tidak akan dapat ‘menaklukan’ hewan itu jika tidak memiliki rasa senang.

Kereta Kencana Kraton Yogyakarta (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Itu menurutnya, menjadi kunci membawa penumpang selamat sampai tujuan. Terlebih dengan kereta Kraton yang ditarik banyak kuda, rasa suka atau senang itu menjadi satu-satunya resep.

“Dari rasa senang itu akan muncul ketenangan dan si kuda pun serasa menjadi satu dengan hati kusir,” kata bapak tiga anak itu.

Kendati begitu, Widodo pernah mengalami kejadian pahit. Saat itu, dalam suatu festival budaya, Widodo menjadi kenek-abdi dalem yang menuntun kuda saat menarik kereta, sementara yang berada di atas kuda adalah Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat. Arakan-arakan kereta berhenti di Hotel Ina Garuda, Jalan Malioboro.

Kereta sudah berhenti. Tapi kuda terdepan yang dirangkai berpasangan tiba- tiba mundur. Widodo yang berada di belakang kuda bernasib apes. Kaki kanannya kena injakan tapal kuda sehingga menimbulkan luka memar sekalipun telah menggunakan sepatu khusus.

Luka masih membekas sampai sekarang. “Sekitar seminggu kaki kanan yang terinjak itu lebam,” ujarnya.

Dari situ, Widodo mengambil hikmah. Latihan demi latihan mesti harus dilakukan rutin sebelum acara puncak berlangsung. Terlebih ketika kuda yang tidak biasa dirangkai berpasangan harus dibuat biasa untuk menghindari kuda berontak ketika hari H pelaksanaan.

Oleh karenanya menurutnya, sebelum Pawiwahan Ageng itu setidaknya perlu ada latihan tiga hingga empat kali. “Apalagi kuda- kuda yang dipinjamkan dari Kavaleri nanti adalah kuda pacu,” ujarnya.

Keseharian Widodo sekarang ini sudah lebih sibuk ketimbang hari biasanya untuk menyiapkan kereta-kereta yang akan digunakan untuk Pawiwahan Ageng itu.

Selepasnya tak bekerja lagi sebagai petugas keamanan di sebuah hotel di Jalan Mangkubumi, waktunya sudah banyak luang. Bebannya pun tak sebanyak dulu. Dua anaknya sudah bekerja. Tinggal satu anak perempuan ragilnya yang masih sekolah. Itupun kebutuhannya sudah dicukupi oleh kedua anaknya yang telah bekerja.

Sehingga tak masalah baginya ketika hanya mendapatkan ‘gaji’ atau paringan dalem yang besarannya jauh lebih kecil dari gajinya ketika bekerja. “Sebulan gaji kusir Rp35.000. Itu paringan dalem,” katanya.

Menurutnya, paringan dalem itu diberikan sesuai dengan kepangkatannya sebagai abdi dalem. Namun ia tak peduli dengan gaji itu. Ia tak menghitungnya. Malah, kata dia, sebisa mungkin justru memberikan hal yang besar bagi Kraton untuk pelestarian kekayaan budaya.

Kini, ia kerap mengumpulkan orang-orang muda untuk mengenalkan kereta kuda. Mengingat jumlah kusir di Kraton sekarang ini tak lebih dari lima orang. ”Tapi intinya mereka harus memiliki rasa senang terlebih dahulu,” ujarnya.

Dari keseriusannya itu, keberadaan Widodo semakin diakui oleh Kraton. Ia adalah kusir yang dituakan. Dari Kraton, ia mendapatkan nama Mas Kliwon Rotodiwiryo. Kliwon menurutnya menunjukkan kepangkatan sebagai abdi dalem. Sedangkan Rotodiwiryo diambil dari nama pendahulunya.

Tapi, ia mengulang bukan itu yang dicarinya. “Rasanya tenteram saja bisa mengabdi dengan Ngarso Dalem,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Rekomendasi