JIBI/Harian Jogja/Sunartono
Sejumlah warga Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagah Harjo Cangrkingan melakukan aktifitas seperti biasa pasca terjadinya peningkatan aktifitas merapi disertai hujan abu dan suara gemuruh. Foto diambil Selasa (23/7/2013).

PromosiStrategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dusun Kalitengah Lor, Glagahharjo Cangkringan Sleman termasuk paling dekat dengan suara gemuruh saat Gunung Merapi bergemuruh Senin (22/7/2013). Sebagian besar warga mengungsi meski setelah aman mereka kembali lagi. Bagaimana kondisi warga Dusun Kalitengah Lor saat ini, berikut penelusuran wartawan Harian Jogja Sunartono.

Nuansa serba putih menghiasai Dusun Kalitengah Lor, Glagahharjo Cangkringan Sleman. Suasana senyap berdebu itu terasa kental seperti kala erupsi 2010 silam. Warna putih itu kian dipertegas oleh hawa panas sinar matahari.

Tidak saja di atas rumah penduduk yang putih pekat, tetapi juga tanaman palawija yang dedaunannya tertutup debu akibat aktifitasnya signifikan merapi Senin dinihari lalu.

Sementara dari kejauhan Merapi menampakkan wajah garangnya. Kabut yang sejak pagi menutupi, sekitar pukul 10.00 WIB tiba-tiba terbawa angin dengan cepat dan membuat panorama gunung berapi itu terlihat indah. Akantetapi di balik keindahannya siapapun tidak meragukan lagi kegarangan dan sifatnya yang selalu menepati janji dalam setiap aktifitas vulkanik.

Pagi kemarin, beberapa warga diantaranya dengan sabar membersihkan tanaman mereka dari debu vulkanik. Mereka masih menyimpan harapan besar akan kehidupan masa depan yang lebih cerah. Meski sebenarnya membahayakan karena daerah yang dihuni masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) II.

Dusun Kalitengah Lor merupakan dusun terdekat dengan lereng merapi. Berjarak sekitar lima klometer dari puncak. Ratusan warga masih nekat untuk tinggal di pedukuhan itu meski pemerintah sudah siap memfasilitasi dan memerintahkan untuk relokasi ke tempat yang lebih aman.

Pascaterjadinya peningkatan aktifitas disertai gempa dan gemuruh, pada Selasa (23/7/2013) pagi meski masih tampak lengang namun kegiatan warga Dusun Kalitengah Lor berlangsung seperti biasa.

Beberapa warga sudah beraktifitas seperti mengambil kayu dengan berjalan kaki, adapula menyiangi rumput di areal sempit lahan pegunungan. Para pedagang kecil di pinggiran jalan juga membuka dagangannya. Pemandangan berbeda para pemuda tampak duduk di pinggiran jalan tanpa ada aktivitas.

“Kemarin mengungsi buka hanya sebentar, sekarang baru buka dari pagi,” ungkap Narjo, 45, seorang ibu yang berjualan di pinggir jalan Kalitengah Lor kepada Harian Jogja.

Narjo tampak menata barang dagangannya. Ia menjual berbagai kebutuhan masyarakat di kawasan lereng merapi karena jauh dari pertokoan. Dagangannya tidak terlalu istimewa dan jauh dari kebutuhan cukup. Tetapi ia merasakan kebahagiaan tersendiri meski pendapatannya minim karena bisa tinggal di kampung halaman walaupun membahayakan. Narjo juga tak terlalu khawatir dengan peningkatan aktifitas merapi saat ini.

Sama halnya dengan Slamet, 35, pria dua anak yang sempat membeli bahan makanan di tempat Narjo ini juga tidak terlalu mengkhawatirkan pasca terjadinya letusan kecil dan hujan abu Senin dinihari. Rasa trauma dan takut, lanjut dia, mungkin dirasakan sebagian besar warga pasca erupsi 2010 tetapi itu masih bisa dikendalikan dalam batas normal.

“Takut pasti tapi tak harus lari,” kata dia.

Seperti yang terjadi saat gemuruh Senin kemarin, tak dapat dipungkiri, kata Slamet, kepanikan warga terjadi sangat cepat. Mereka dengan sigap untuk mengungsi dengan cara apapun di saat menurut warga dianggapnya sudah genting.

Kendati demikian, kata dia, maksud tak harus lari yakni tidak harus meninggalkan kampung halaman selama-lamanya dengan mengikuti relokasi hanya karena rasa takut itu.

“Kita sudah sejak kecil berada di sini jadi sudah terbiasa nanti harus pindah, jauh jadinya,” imbuh Slamet.

Jika memaksakan mengikuti relokasi, kata dia, harus jauh dari lokasi pertanian mereka. Ia hanya berharap pemerintah memberikan segala kebutuhan warga terutama fasilitas umum. Terutama jalan yang rusak akibat truk pengangkut pasir. Selain itu sejumlah piranti evakuasi bencana juga perlu dipersiapkan sewaktu-waktu terutama transportasi dan tanda bahaya.

“Sirine bahaya ada di masjid, tapi rusak,” pungkas Slamet.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Rekomendasi